Judulnya berupa tiga buah kasus yang bisa meruntuhkan
keyakinan kita akankah Indonesia bertahan. Dimana limit terakhir dari Indonesia
adalah menjual negaranya.
Oknum dosen di sebuah perguruan tinggi melakukan tindakan
plagiarisme. Lebih tepatnya bisa disebut tindakan kriminal, karena paper yang
diajukan sebagai sebuah syarat agar naik pangkat diklaim sudah terpublikasi
pada sebuah jurnal XXXX nomor XX yang terbit pada tahun XXXX. Mengklaim disinilah
yang saya maksud sebagai tindak kriminal. Kalau dikatakan itu plagiarisme,
sepertinya tidak lebih dari proses mencontek saja.
Oknum tersebut (saya sebut saja oknum berarti banyak)
terbukti bersalah berdasarkan penelusuran dari pihak yang melakukan
investigasi. Namun kelanjutannya, oknum tersebut melalui media menyatakan bahwa
kesalahan yang mereka lakukan hanyalah kurang ini itu pada sejumlah bagian
paper. Oknum juga menyebar desas-desus pada mahasiswa bahwa paper yang mereka
ajukan hanya kurang mencantumkan sesuatu hal dan berujung pada tuduhan oleh
pikak investigator.
Putusan MA terhadap seorang kepala daerah di Jawa Barat yang
terbukti melakukan tindak pidana korupsi dilanjutkan dengan demonstrasi PNS di
depan gedung sate Bandung. Alokasi hasil pajak bumi dan bangunan menjadi ladang
korupsi bagi kepala daerah tersebut. Kebijakan yang disalah gunakan menjadi
pertimbangan dari putusan MA.
Kepala daerah tersebut kemudian menyebarkan isu di kalangan
PNS sehingga berujung pada demonstrasi PNS yang mendukung kepala daerah
tersebut. Hal yang ganjil adalah apakah begitu tidak puasnya dengan keputusan
MA lantas menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi?
KASUS KETIGA
Seorang pejabat pemerintah sekaligus pimpinan partai
tertinggi di negeri ini terbukti melakukan korupsi di pengadilan. Program-program
pemerintah yang dipajang di sudut persimpangan jalan apabila diperhatikan baik-baik
semuanya adalah HUTANG. Begitu peliknya mengurusi suatu kasus ini sehingga
tanpa sadar, program pemerintah yang diusung partainya adalah sebuah penambahan
jumlah hutang denga bunga tertinggi (karena skalanya adalah hutang negara).
Pejabat tersebut melalui media menyatakan bahwa dirinya
tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Kemudian berita-berita
selanjutnya berlangsung dikawal ketat oleh dua TV nasional yang isinya sebagian
besar adalah berita.
DEDUKSI
Dari ketiga kasus galau diatas mencerminkan bahwa sekarang
ini publik sedang dipermainkan. Publik adalah korban dari oknum-oknum diatas.
Selain adanya informasi yang blur begitu saja, ternyata publik sedang dirugikan.
Contoh pada kasus pertama, sanksi yang dirasakan adalah penangguhan kenaikan
pangkat yang diterima oleh semua dosen di PT tersebut. Pada kasus kedua, publik
dibuat tidak percaya dengan lembaga peradilan di negaranya sendiri. Pada kasus
ketiga, publik diajarkan untuk mengikuti proses berpikir para tersangka.
Kesamaan dari tiga kasus diatas adalah publik diajarkan
untuk berdalih ketimbang membuktikan ketidak bersalahan mereka melalui cara
yang baik. Jika pada kasus pertama sang oknum menyampaikan pada pihak
investigator bahwa diri mereka tidak bersalah, maka selesai sudah. Pada kasus
kedua, jika kepala daerah tersebut bersumpah dibawah kitab suci / sesuai
prosedur pengadilan bahwa dirinya tidak bersalah maka selesai sudah. Jika pada
kasus ketiga sang pejabat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kepala
daerah untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya, maka selesai sudah.
Menggiring opini publik adalah yang dilakukan pada ketiga kasus diatas.
Bayangkan ketika membuat sebuah piramida di Mesir, para perkerja membuat fondasinya saja sudah cukup dan melakukan yang terbaik agar bisa melihat puncaknya. Dan puncaknya bukan hanya sebuah prestasi, tetapi sebuah simbol dari kerja keras yang mereka lakukan meskipun hanya meletakan batu pertama pada bagian terbawah fondasinya. Jika kita tidak mampu berada di puncak, lakukan yang terbaik untuk membangun puncaknya.
Publik sedang dirugikan. Ketika seorang pemimpin menjabat
pada satu periode, program utamanya adalah membayar hutang negara. Namun pada
kenyataanya, hutang tersebut terus bertambah karena bunga dari hutang tersebut.
Seorang nasabah yang sedang mengkredit rumah pun membenci bunga bank yang
sebesar 12%. Bayangkan sebuah hutang negara dengan bunga diatas 20%. APBN yang
dicanangkan adalah sebagian untuk membayar bunganya saja, bukan hutangnya.
Andaikan pemimpin negeri ini lebih jujur dan rendah hati dalam
melakukan tugasnya maka hutang negara tidak akan terus bertambah. Pemikiran
yang mereka tanamkan adalah meminjam tanpa berpikir untuk mengembalikan. Hutang-hutang
negara yang sekarang ini menjadi kewajiban tak lain adalah hutang-hutang para
pemimpin negara sebelum-sebelumnya. Apa yang harus Indonesia lakukan untuk
membayar hutang negara tersebut? Apakah harus Indonesia “menjual dirinya”?
pencerahan kuliah inti..wkwkwk
BalasHapus