15/03/12

Three Cases


Judulnya berupa tiga buah kasus yang bisa meruntuhkan keyakinan kita akankah Indonesia bertahan. Dimana limit terakhir dari Indonesia adalah menjual negaranya.

KASUS PERTAMA
Oknum dosen di sebuah perguruan tinggi melakukan tindakan plagiarisme. Lebih tepatnya bisa disebut tindakan kriminal, karena paper yang diajukan sebagai sebuah syarat agar naik pangkat diklaim sudah terpublikasi pada sebuah jurnal XXXX nomor XX yang terbit pada tahun XXXX. Mengklaim disinilah yang saya maksud sebagai tindak kriminal. Kalau dikatakan itu plagiarisme, sepertinya tidak lebih dari proses mencontek saja.

Oknum tersebut (saya sebut saja oknum berarti banyak) terbukti bersalah berdasarkan penelusuran dari pihak yang melakukan investigasi. Namun kelanjutannya, oknum tersebut melalui media menyatakan bahwa kesalahan yang mereka lakukan hanyalah kurang ini itu pada sejumlah bagian paper. Oknum juga menyebar desas-desus pada mahasiswa bahwa paper yang mereka ajukan hanya kurang mencantumkan sesuatu hal dan berujung pada tuduhan oleh pikak investigator.
 

KASUS KEDUA

Putusan MA terhadap seorang kepala daerah di Jawa Barat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dilanjutkan dengan demonstrasi PNS di depan gedung sate Bandung. Alokasi hasil pajak bumi dan bangunan menjadi ladang korupsi bagi kepala daerah tersebut. Kebijakan yang disalah gunakan menjadi pertimbangan dari putusan MA.

Kepala daerah tersebut kemudian menyebarkan isu di kalangan PNS sehingga berujung pada demonstrasi PNS yang mendukung kepala daerah tersebut. Hal yang ganjil adalah apakah begitu tidak puasnya dengan keputusan MA lantas menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi?

KASUS KETIGA
Seorang pejabat pemerintah sekaligus pimpinan partai tertinggi di negeri ini terbukti melakukan korupsi di pengadilan. Program-program pemerintah yang dipajang di sudut persimpangan jalan apabila diperhatikan baik-baik semuanya adalah HUTANG. Begitu peliknya mengurusi suatu kasus ini sehingga tanpa sadar, program pemerintah yang diusung partainya adalah sebuah penambahan jumlah hutang denga bunga tertinggi (karena skalanya adalah hutang negara).

Pejabat tersebut melalui media menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Kemudian berita-berita selanjutnya berlangsung dikawal ketat oleh dua TV nasional yang isinya sebagian besar adalah berita.

DEDUKSI
Dari ketiga kasus galau diatas mencerminkan bahwa sekarang ini publik sedang dipermainkan. Publik adalah korban dari oknum-oknum diatas. Selain adanya informasi yang blur begitu saja, ternyata publik sedang dirugikan. Contoh pada kasus pertama, sanksi yang dirasakan adalah penangguhan kenaikan pangkat yang diterima oleh semua dosen di PT tersebut. Pada kasus kedua, publik dibuat tidak percaya dengan lembaga peradilan di negaranya sendiri. Pada kasus ketiga, publik diajarkan untuk mengikuti proses berpikir para tersangka.

Kesamaan dari tiga kasus diatas adalah publik diajarkan untuk berdalih ketimbang membuktikan ketidak bersalahan mereka melalui cara yang baik. Jika pada kasus pertama sang oknum menyampaikan pada pihak investigator bahwa diri mereka tidak bersalah, maka selesai sudah. Pada kasus kedua, jika kepala daerah tersebut bersumpah dibawah kitab suci / sesuai prosedur pengadilan bahwa dirinya tidak bersalah maka selesai sudah. Jika pada kasus ketiga sang pejabat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kepala daerah untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya, maka selesai sudah. Menggiring opini publik adalah yang dilakukan pada ketiga kasus diatas.

Bayangkan ketika membuat sebuah piramida di Mesir, para perkerja membuat fondasinya saja sudah cukup dan melakukan yang terbaik agar bisa melihat puncaknya. Dan puncaknya bukan hanya sebuah prestasi, tetapi sebuah simbol dari kerja keras yang mereka lakukan meskipun hanya meletakan batu pertama pada bagian terbawah fondasinya. Jika kita tidak mampu berada di puncak, lakukan yang terbaik untuk membangun puncaknya.

Publik sedang dirugikan. Ketika seorang pemimpin menjabat pada satu periode, program utamanya adalah membayar hutang negara. Namun pada kenyataanya, hutang tersebut terus bertambah karena bunga dari hutang tersebut. Seorang nasabah yang sedang mengkredit rumah pun membenci bunga bank yang sebesar 12%. Bayangkan sebuah hutang negara dengan bunga diatas 20%. APBN yang dicanangkan adalah sebagian untuk membayar bunganya saja, bukan hutangnya.

Andaikan pemimpin negeri ini lebih jujur dan rendah hati dalam melakukan tugasnya maka hutang negara tidak akan terus bertambah. Pemikiran yang mereka tanamkan adalah meminjam tanpa berpikir untuk mengembalikan. Hutang-hutang negara yang sekarang ini menjadi kewajiban tak lain adalah hutang-hutang para pemimpin negara sebelum-sebelumnya. Apa yang harus Indonesia lakukan untuk membayar hutang negara tersebut? Apakah harus Indonesia “menjual dirinya”?

1 komentar: